Senin, 03 Maret 2014

TUGAS KEWARGANEGARAAN

  1FENOMENA ARTIS YANG TERJUN KEDUNIA POLITIK

      LATAR BELAKANG MASALAH :
Dunia politik itu dunia yang asyik dan penuh dengan intrik. Begitulah kiranya gambaran bagi dunia politik di indonesia saat ini. Sejak era reformasi tahun 1999, dunia perpolitikan di indonesia semakin tidak terkendali. Bukan hanya dalam strategi dan intrik yang digunakan saja, melainkan sekarang banyak juga para politikus dan calon politikus ikut meramaikannya. Sejak era reformasi banyak terdapat figur yang sebenarnya secara kualitas masih diperdebatkan namun mereka mempunyai popularitas atau sering disebut dengan istilah artis/publik figur. Kalangan artis yang terjun kepolitik berasal dari berbagai bidang pula, seperti penyanyi, pemain film, pemain sinetron, pelawak, dan juga host.
Beberapa nama artis telah lebih dahulu terjun di dunia politik indonesia, sebut saja Rieke Diah Pitaloka, Tantowi Yahya, Dedi Gumelar (Miing), Jamal Mirdad, Nurul Arifin, Venna Melinda, Rachel Maryam, Komar, dan masih banyak lagi. Poupalritas menjadi salah satu faktor penentu dalam kompetisi politik di negeri ini. Banyak kalangan menilai bahwa terjunnya artis ke dunia politik bukan hanya atas dasar kemauan sang artis semata, tetapi juga sebagai sarana untuk mendulang suara bagi partai-partai peserta pemilu. Wajar saja mereka dipinang oleh partai, pasalnya keduanya sama-sama diuntungkan dengan "kerjasama" tersebut. Singkatnya, sang artis dapat keuntungan untuk duduk di kursi parlemen, sedangkan partai dapat meningkatkan elektabilitas sehingga menambah prosentase wakil mereka di gedung DPR. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, siapa pun caleg dalam pemilu di indonesia selama tidak melanggar aturan hukum itu sah-sah saja. Dan yang paling penting adalah mereka benar-benar menjadi wakil rakyat yang berpihak pada keadilan dan memuarakan segalanya untuk kesejahteraan rakyat. Nah, pada pemilu yang akan dilaksanakan pada tahun 2014 ini juga tidak luput dari pentas para artis untuk mendulang suara agar nantinya terpilih menjadi wakil rakyat di gedung DPR. Banyak artis yang sudah cukup berpengalaman, namun tidak sedikit pula yang masih minim pengalaman.

2.      TINJAUAN TEORITIS
Pengertian Artis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah,”ahli seni, seniman, seniwati (seperti penyanyi, pemain film, pelukis, pemain drama). ”(Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P & K, 1990:49). Dengan demikian artis dapat juga didefinisikan sebagai selebriti yang dapat diartikan sebagai orang-orang yang terkenal dalam dunia seni.
Umumnya alasan orang untuk aktif dalam politik, adalah alasan sama yang mendorongnya untuk mengerjakan pekerjaan lain yang mana saja yakni, karena memang itu pilihanya sendiri secara sukarela. Ia mendapatkan kepuasan. Bahkan seorang sukarelawan yang altruistik bagaimanapun, masih menguntungkan dirinya sendiri juga, karena alasan mengapa ia aktif adalah untuk memperoleh kepuasan bagi dirinya sendiri ( Arnold S., 1981:8 ).
Pengertian Motifasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah :
(1) Dorongan yang timbul pada diri seseorang sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.
(2) Usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasaan dengan perbuatanya. ( Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K, 1990: 593 ).

Adanya keinginan para artis untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, telah menimbulkan motif - motif tertentu yang menjadi dorongan untuk memasuki dunia politik, karena motif itu sendiri adalah dorongan, keinginan, hasrat dan tenaga pengerak lainnya yang berasal dari dalam dirinnya ( W.A. Gerungan, 1983:143 ), sehingga seseorang membentuk aktifitas dominan terhadap kegiatannya ( Hugo F. Reading,1986:263 ). Namun demikian hasrat artis perlu mendapat dukungan dari komunitasnya, sehingga semakin menguatkan tekad untuk maju berkompetisi; “ But motivation isn’t their job. It’s a manager’s job. After all, line management wants the credit for result - and quite rightly ”. ( Andrew Sargent, 2001:26 ).
Sedangkan yang melatar belakangi timbulnya motif seseorang adalah karena adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan , sebagaimana yang dinyatakan oleh Walter Langer bahwa kebutuhan manusia itu ada tiga macam, yaitu:
1. Kebutuhan fisik ( physical needs ), yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan kenyamanan tubuh, seperti makan, minum dan pakaian.
2. Kebutuhan sosial ( social needs ), yaitu kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain secara akrab.
3. Kebutuhan egoistis ( egoistic needs ), yaitu kebutuhan yang tujuannya bakan semata-mata untuk berhubungan dengan orang lain, akan tetapi lebih dari itu ingin mendapat pengakuan keistimewaan dari orang lain akan dirinya. ( Walter Langer dalam Onong U. Effendy, 1983:57-58 ).
Dengan ketiga macam kebutuhan tersebut, tentunya masing-masing orang memiliki keinginan untuk dapat memenuhinya, dan dorongan keinginan untuk dapat memenuhi kebutuhan menyebabkan seseorang termotivasi; baik itu motivasi berprestasi, motivasi berafiliasi maupun motivasi berkuasa. ( Mc. Clelland dalam Ibrahim Indrajaya, 1983:78 ).
Dari ketiga macam motivasi tersebut, dalam penelitian ini ditekankan pada motivasi berafiliasi yang akan tercermin pada keinginan seseorang untuk menciptakan, memelihara dan mengembangkan hubungan dan suasana kebatinan serta perasaan yang saling menyenangkan sesama manusia, atau dengan kata lain ingin selalu berkelompok dan berinteraksi dengan orang lain.
Bagi seseorang yang merasa perlu untuk berkelompok, berarti merasa membutuhkan orang lain, dan bagaimanapun juga, sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain untuk dapat hidup secara baik dan “ layak ”. Dalam kaitannya dengan penelitian ini lembaga legislatif dapat digunakan sebagai wadah kegiatan individu maupun kelompok agar keinginan tersebut dapat terpenuhi; tentunya dengan turut serta secara aktif dalam rangkaian kegiatan Pemilihan Umum ( Pemilu ) untuk memilih anggota legislatif.
Pemenuhan keinginan ( motivasi ) berafiliasi pada penelitian ini akan dioperasikan dalam bentuk kegiatan menciptakan hubungan, memelihara hubungan serta mengembangkan hubungan di antara sesama anggota masyarakat pada umumnya serta dengan anggota partai politik peserta pemilu khususnya. Sehingga keinginan - keinginan tersebut diarahkan kepada satu faktor, yakni keinginan artis untuk menjadi anggota legislatif.
Sehubungan dengan hal itu, lembaga legislatif sebagai sebuah kelompok atau grup menurut pendekatan sosiologi mengandung arti sejumlah orang yang berinteraksi secara bersama-sama dan memiliki kesadaran keanggotaan yang didasarkan pada kehendak - kehendak perilaku yang disepakati bersama.
Kebersamaan di antara sejumlah orang untuk membentuk menjadi sebuah kelompok sosial, bukanlah berarti tanpa syarat-syarat tertentu untuk dapat disebut sebagai kelompok sosial karena;
1. Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar merupakan sebagian dari kelompok itu.
2. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan yang lainnya, dalam kelompok itu.
3. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota – anggota kelompok tersebut, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Contoh, nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan maupun ideologi yang sama.
4. Berstruktur, berkaedah dan mempunyai pola perilaku. ( Soerjono Soekanto, 1978:103 ).

Dari keempat syarat kelompok tersebut, terdapat dasar motif yang berbeda antara satu orang dengan yang lainnya; oleh karenanya kelompok sosial yang terbentuk–pun berbeda – beda dalam masyarakat. Untuk motif yang sama mendorong sekelompok orang untuk mencapai tujuan yang sama pula yang pada akhirnya menjadi kelompok tersebut.
Dalam penelitian ini kelompok sosial yang dimaksud adalah lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD ). Lembaga legislatif merupakan suatu lembaga politik yang dibentuk melalui Pemilu yang akan menjadi wakil – wakil dan menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Budayawan Emha Ainun Najib berpendapat, “Parpol yang berlomba merekrut artis menjadi caleg menunjukan adanya krisis kepercayaan Parpol“ (Kompas, 27 / 2 /2004). Tapi Arswendo Atmowiloto bertolak belakang dengan pandangan Emha yang mengatakan: “Ada krisis kepercayaan Parpol “, namun Arswendo melihat kepada personnya dengan mengatakan: “Memang, rata – rata artis kita sudah terbiasa berjuang, tetapi memperjuangkan diri sendiri. Mana peduli mereka memperjuangkan kepentingan orang banyak, wong rumah saja gampang bongkar pasang. Habis kepentingannya, ya selesai “. (Kompas, 27 / 2 / 2004).
Sementara itu politik adalah siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana ( Harold Lasswell, 1958:113 ); pembagian nilai – nilai oleh yang berwenang ( David Easton, 1953;34 ); kekuasaan dan pemegang kekuasaan ( G.E.G. Catin, 1930:467 ); pengaruh ( Edward C. Banfield, 1961:75 ); tindakan yang diarahkan untuk mempertahankan dan atau memperluas tindakan lainnya ( Michael Weinstein, 1971;365 ). Dan ia adalah kegiatan – yang dibedakan (meskipun tidak selalu berhasil) dari kegiatan ini – ekonomi, keagamaan, atletik, dan sebagainya. (Dan Nimmo, 1993:8).
Ploitik, seperti komunikasi, adalah proses; dan seperti komunikasi, politik melibatkan pembicaraan. Ini bukan pembicaraan dalam arti sempit seperti kata yang diucapkan, melainkan pembicaraan dalam arti yang lebih inklusif, yang berarti segala cara orang bertukar simbol / kata – kata yang dituliskan dan diucapkan, gambar, gerakan, sikap tubuh, perangai, dan pakaian. Ilmuwan politik Mark Roelofs mengatakan dengan cara sederhana: “Politik adalah pembicaraan; atau lebih tepat, kegiatan berpolitik (“berpolitik“) adalah berbicara. Ia menekankan bahwa politik tidak hanya pembicaraan, juga tidak semua pembicaraan adalah politik, dan bukan hanya dasarnya, ialah bahwa ia adalah kegiatan berkomunikasi antara orang – orang. ” (Mark Roelofs, 1967:46 ).
Tidak semua calon anggota legislatif adalah politikus karier, hal ini terbukti dalam Pemilu 2004 ini yang ditandai gejala politik artis beramai – ramai menjadi calon anggota legislatif melalui organisasi peserta pemilu ( OPP )-nya masing – masing sebagai kendaraan politiknya.
Berkaitan dengan kehadiran calon anggota legislatif dari kalangan artis, Arswendo Atmowiloto mengatakan :
“karena terbiasa bermain dengan banyak peran, caleg pun akan mereka mainkan seperti peran – peran yang lain. Artinya, cuma “seolah – olah“ sebagai caleg. Mereka akan sama baiknya membawakan peran si baik atau si jahat di Senayan tanpa harus menjadi bagian dari hidupnya. Dengan kata lain tanpa melibatkan perasaan bersalah atau semacamnya itulah“. (Kompas, 27 / 2 / 2004:37).
Hal tersebut diatas terjadi karena artis tidak dapat membedakan antara realitas empiris dan realita panggung. “Tidak ada niat serius benar – benar menjadi caleg dengan sejumlah sumber daya dan norma tertentu seperti diidealkan “. (Arswendo Atmowiloto dalam Kompas, 27 / 2 / 2004:37 ). Selanjutnya dikatakan Arswendo bahwa, “ketidakseriusan menjadi caleg di kalangan para artis ini menjadi karena tiadanya skenario yang tetap di Senayan, dari awal sampai akhir. Kalau dalam sinetron, mereka memainkan satu potongan – potongan skenario yang banyak berubah – ubah “.
John Cork, dalam komentarnya adalah Arnold Schwarzenegger terpilih sebagai Gubernur California mengatakan: “ . . . pesona pribadi hampir selalu lebih bermakna ketimbang politik, memiliki nama tenar lebih penting ketimbang mampu menjawab pertanyaan seputar isu kampanye. Jika ada seorang bintang, maka media akan melakukan apapun untuk meliput kampanye anda .“ ( John Cork dalam Time, 10 / 11 / 2003:4 ). Pernyataan tersebut benar. Dimanapun, tidak hanya AS, pemujaan selebriti menjadi semacam agama baru yang dianut dengan takzim. Kepercayaan itu menyebar dan membangun apa yang disebut Francesco Guardini sebagai “ bentuk kerajaan baru “, dan bintang film, olahragawan, musisi, model, dan supermodel menjadi raja dan ratunya.
Kalau diperbandingkan dengan kehadiran Arnold Schwarzenegger, maka dapat dikemukakan bahwa Schwazenegger seperti umumnya artis – artis dunia lain, punya perencanaan yang rapi dan orang – orang yang menyiapkan pidato – pidato politiknya. Sementara itu kondisi sumber daya manusia artis Indonesia adalah berbanding terbalik dengan kondisi artis diluar negeri.
Pemilu merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan Negara Kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila, sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Dalam pelaksanaanya akan memiliih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten / Kota yang dilakukan setiap lima tahun sekali. Untuk itu pada tahun 2004, akan dilangsungkan Pemilu yang mempunyai sistem yang berbeda dengan Pemilu yang telah pernah dilakukannya sebelumnya di Indonesia.
Perbedaan sistem Pemilu 2004 terletak pada sistem proporsional terbuka untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten / Kota; dan untuk memilih anggota DPD diterapkan sistem distrik dengan adanya banyak wakil yaitu empat orang wakil dalam satu distrik pemilihan. Kenyataan ini menyebabkan pemilih mengalami suatau kebingungan dan ketidaktahuan yang akan berakibat pada hasil Pemilu nantinya. Dapat dikemukakan beberapa potret buram pemilih menjelang Pemilu 2004 dapat diidentifikasi, antara lain :
1. Pengetahuan pemilih mengenai pemilu tidak memadai. Banyak pemilih kita yang tidak tahu apa itu DPD atau KPU. Tak sedikit pula yang tak menyadari bahwa Presiden dipilih langsung dan dalam pemilu sekarang kita juga memilih DPR, DPRD, dan DPD. Jika terhadap lembaga yang dipilih saja tahu, tak dapat pula diharapkan mereka mengetahui, apalagi menguji calon pemimpin yang mempengaruhi bulat lonjong negeri ini.
2. Mayoritas mereka juga apatis dan tidak yakin dapat mempengaruhi pemerintah. Kurang dari 20% pemilih yang menyakini bahwa dia dan orang lain sepertinya yang mampu mempengaruhi Pemerintah. Dengan besarnya jumlah apatisme itu, mayoritas pemilih merasa terasaring dengan persoalan yang melingkupinya. Karena apatis, mereka pun tak berupaya menjadikan Pemilu sebagai hari pengadilan untuk memperoleh pemerintahan yang lebih mampu.
3. Pemilih cenderung memilih karena kewajiban dan hak, bukan untuk mencari pemimpin yang lebih baik atau keadaan yang lebih baik. Dari data LSI ( lembaga Survei Indonesia ) tampak sekali bahwa mereka memilih dalam pemilu seperti melakukan ritual wajib saja ( 46.5 % ). Sedikit sekali yang menyadari bahwa pemilu dapat digunakan untuk memperjuangkan hidup agar lebih baik.
4. Pemilih cenderung mengharapkan hasil yang segera memberikan hasil dan memberikan jangka pendek. Mayoritas pemilih tak sabar dengan perubahan besar yang dibawa politik reformasi lima tahun terakhir. Tak heran, mayoritas pemilih sekarang sekitar 60 % menganggap Orde Baru lebih baik ketimbang sistem sekarang. Tokoh dari masa silam, yang pandai memanfaatkan sentimen publik yang sedang nostalgik ini, niscaya berpeluang kembali mentas politik nasional. Akibatnya Indonesia dapat kembali berjalan kebelakang, bukan ke depan.
5. Tujuh tahun dalam kesulitan ekonomi membuat mayoritas pemilih tak terlalu peduli dengan isu yang tak berhubungan langsung dengan kesulitannya saat ini. Bagi mereka ( 70 % ) yang penting harga sembako murah dan tak sulit mencari kerja. Berbagi isu yang penting fondasi negara modern, seperti pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, hanya dianggap prioritas oleh sekitar masing – masing 5 % saja. ( Denny J.A. Jawa Pos, 22 / 1 / 2004 ).
Dengan adanya gambaram pemilih yang demikian , maka dalam sebuah penyelenggaraannya pemilu masyarakat demokrasi, orang sedikit banyak dapat menerima alasan, untuk adanya pemerintahan; paling tidak ia beranggapan, pemerintahan itu akan tetap ada. Mentalis demokratik itu tertuang dalam pandangan optimistik dan idealistik.

3.      TNJAUAN PRAKTIS
Realitas budaya politik di Indonesia ini tentang fenomena selebritis politik dan politisasi selebritis belakangan ini menjadi perbincangan hangat. Banyaknya para selebritis ikut andil dalam bursa pencalonan diri sebagai kepala daerah dan calon legislatif. Latar belakang profesi para artis yang menjabat sebagai kepala daerah atau anggota DPR bermacam-macam, mulai dari ragam profesi sebagai artis sinetron, bintang iklan dan pelawak. Hal ini menjadi fenomena karena kesuksesan menjadi anggota DPR atau kepala daerah tertentu sangat menggiurkan. Keternaran dan kewibawaan sebagai pemimpin mempunyai nilai tersendiri dikalangan artis. Hal ini menjadi perhatian banyak orang, padahal di negara luar hal ini menjadi lumrah seorang artis mencalonkan dirinya sebagai politisi. Fenomena ini terjadi karena di Indonesia telah merasuk budaya pop (pop culture) dan politik praktis.
Keterlibatan para selebritis berkecimpung di dunia politik tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Fenomena ini menjadi perdebatan dari dahulu hingga sekarang. Bagi masyarakat yang pro atau membela tentu saja memandang hal ini sebagai hak asasi manusia dan sifatnya sah-sah saja para artis untuk mencalonkan dirinya keranah perpolitikan dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan duduk dalam parlementer. Berbeda halnya bagi kalangan yang kontra atau kelompok yang menentang tentu saja menolak karena menganggap bahwa para selebritis cenderung mengandalkan penampilan fisik dibandingkan wawasan dan keahlian dalam kemampuan berpolitik.
Pandangan tentang keterlibatan selebritis dalam kancah perpolitikan merupakan suatu kebebasan yang menjadi bagian haknya sebagai warga negara. John Stuart Mill, mengemukakan bahwa suatu  konsepsi kebebasan menyertakan gagasan-gagasan pengembangan diri dan peningkatan kemampuan diri. Maka keterlibatan seorang selebritis dalam bursa pencalonan menjadi pemimpin daerah merupakan suatu peningkatan eksistensi diri dan proses pengembangan diri dalam peningkatan kualitas hidupnya. Pandangan miring yang hinggap di atas nama pencalonan seorang selebritis merupakan suatu bumbu politik.
Istilah Celebrity politic atau yang lebih kita kenal sebagai selebritis politik telah  menjadi bagian dalam dunia perpolitikan di dunia khususnya di Indonesia. Dari tahun ketahun dunia pemilihan umum diramaikan oleh wajah-wajah populer artis. Bagi kalangan para artis sosialisasi menjadi hal yang tidak terlalu berat. Dengan modal popularitas yang mereka miliki sosialisasi dalam era pemilihan ketua daerah atau pemilihan untuk wakil legislatif. Cara kampanye yang digunakan para politisi di Indonesia adalah dengan  berbasis media, baik media televisi, internet dan spanduk. Hal ini sudah mempengaruhi budaya kampanye di Indonesia. Kampanye dengan melalui media internet dilakukan dengan bantuan jejaring sosial seperti friendster, facebook, dan bloger dinilai lebih efektif bagi pemilih muda.
Sistem pemilihan langsung menuntut para calon pemimpin ini ekstra kerja keras dalam mensosialisasikan dan mempromisikan dirinya dengan tujuan agar terpilih nantinya. Para politisi berlomba-lomba membuat iklan untuk ditayangkan di televisi dengan menggambarkan diri mereka sebagai orang yang peduli akan sesamanya. Misalnya politisi Rizal Malarangeng yang berusahamendeskripsikan dirinya sebagai orang yang peduli dengan kaum-kaum yang termarjinalkanPetani, nelayan danpenduduk papua dalam iklan tersebut digambarkan dengan akrabnya, bergaul dan berbaur dengan Rizal Malarangeng.Seluruh para elit politik pada saat musim kampanye banyak yang mendekatkan diri dengan rakyat, berusaha merasakan kehidupan masyarakat kecil, mencoba menarik simpati para masyarakat kecil.
Ketenaran dan polpularitas sangat mempengaruhi besar kecilnya suara yang akan diperoleh. Hal ini disebabkan oleh sistem pemilihan umum yang berlangsung di Indonesia yang lebih mementingkan popularitas dibandingkan visi dan misi dari seorang calon kandidat. Diperparah lagi dengan minimnya peran serta masyarakat dan kurang pahamnya mereka tentang calon kandidat, kemampuan dan pengalaman dibidang pembangunan masyarakat menjadi hal yang tidak penting bagi masyarakat umum. Kecenderungan para selebritis terjun dalam panggung perpolitikan menimbulkan selentingan bahwa para selebritis hanya ikut-ikutan karena melihat teman sejawatnya yang terjundalam panggung politik sukses dan menduduki jabatan terpenting.
            Melibatkan artis sinetron atau public figure dalam mensosialisasi partai politik tertentu dinilai sangat efektif. Hal ini merupakan strategi partai politik untuk mengeksistensikan partai. Dalam sosialisasi politik terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi partai, yaitu : kapital, popularitas tokoh, mesin partai politik dan marketing politik. Ada yang berpendapat bahwa perekrutan atris sebagai kader sebenarnya hanya dimanfaatkan oleh partai politik. Tetapi pendapat lain bahwa artislah yang memanfaatkan partai politik untuk menjadikan sumber pendapatan baru bagi para selebritis.
Ada sebuah artikel yang berjudul "Celebrity Politicians: Popular Culture and Political Representation"yang ditulis oleh John Street. Pada dasarnya menjadi hak selebritis untuk mengandalkan penampilan fisik dan kepopulerannya untuk masuk ke dunia politik. Namun menurut street, selebritis yang memasuki dunia politik belum tentu layak dalam profesi barunya sebagai politisi. Menurut street istilah “selebritis politik” tidak dapat digeneralisasikan karena terdapat dua pemahaman tentang hal tersebut. Pemahaman yang pertama bahwa “selebritis politik” yang sepenuhnya menggunakan sisi keartisannya, dan pemahaman yang kedua bahwa “selebritis politik” yang sepenuhnya meninggalkan sisi keartisannya dalam arti ia sepenuhnya menekuni aktivitas sebagai aktivis politik yang menyuarakan perdamaian dan kritis dalam menilai kebijakan.
            Partai politik mempunyai fungsi sebagai sarana pengrekrutan politik. Dalam fenomena ini partai politik memanfaatkan fungsinya sebagai tempat pengrekrutan para selebritis yang ingin menggunakan haknya untuk ikut serta dalam dunia perpolitikan. Mekanisme yang terjadi dalam hal ini adalah partai politik mencari dan mengajak orang yang dinilai berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Maka akan memperluas partisipasi politik. Partai politik menarik dari golongan selebritis dan golongan muda untuk dididik menjadi kader untuk masa yang akan datang serta menjaga eksistensi partai politik tertentu.
            Pro dan kontra dalam keterlibatan selebritis dalam panggung perpolitikan di dalam masyatakat akan terus berlangsung jika budaya popular yang kita anut telah terlepas dari diri kita. Bahwa pada dasarnya mereka bisa memperoleh pengaruh karena kekayaan, popularitas, daya tarik, pengetahuan, keyakinan  atau karena kualitas tertentu yang dikagumi oleh orang-orang lain. Jadi kekuasaan seseorang dalam hal ini selebritis lebih berpeluang dalam memperoleh tahta kekuasaan yang lebih besar karena mereka memiliki popularitas serta didukung oelh budaya masyarakat kita yang menganut budaya pop.
Ketenaran seorang selebritis memberikan kontribusi yang besar dalam pembentukan karier dalam dunia perpolitikan khususnya di Indonesia. Bagaimana interaksinya dengan para awak media infotaiment memberikan kontribusi pandanganbagi  masyrakat tentang kepribadian seleberitis yang bersangkutan. Menurut pandangan Denzin, kultur dalam makna dan bentuk interaksionalnya, menjadi ajang perjuangan politik. Pencitraan yang dilakukan oleh selebritis dalam membangun citra yang baik merupakan bagian dari bentuk politiknya yang tidak selalu berbentuk utuh politik parlementer.
Budaya perpolitikan di Indonesia mempunyai ciri perpolitikan yang sama dengan negara berkembang lainnya. Dimana menilai seseorang tentang bagaimana dapat memiliki kekuasaaan didasarkan pada faktor-faktor berikut: kekayaan, memiliki kapasitas intelektual, integritas moral, kharisma, keterunan dan proses politik & sosial. Pada dasarnya seseorang berpolitik untuk mengatur dengan mengkolektifkan kepentingan bersama agar mencapai kehidupan yang lebih baik. Perpolitikan disuatu negara menyangkut pada kekuasaan. Kekuasaan menurut Weber merupakan kemungkinan seseorang untuk memaksakan orang lain untuk berperilaku sesuai kehendaknya. Kemungkinan orang memiliki kekuasaan di Indonesia lebih banyak berdasarkan faktor kekayaan. Maka ada istilah “siapa yang kuat dialah yang dapat”. Realitas perpolitikan di Indonesia mempunyai banyak kepentingan dan terkesan berebut tahta kekuasaaan.
Sistem budaya perpolitikan di Indonesia menganut sistem multipartai. Hal ini disebabkan oleh keanekaragaman masyarakat di Indonesia mulai dari ras, agama, suku bangsa. Dalam politik multi-partai golongan-golongan masyarakat cenderung  menyalurkan ikatan-ikatan terbatas dalam satu wadah. Maka tidak heran dalam sistem politik multi-partai sering kali partai yang tidak cukup kuat bertemu untuk membentuk koalisi dengan partai-partai lain.
Partai politik merupakan bagian dari perilaku kolektif yang bersama-sama yang mempunya tujuan yang sama. Menurut James S. Calomen, baik aktor kolektif maupun aktor individual mempunyai tujuan. Komitmen dalam partai politik bahwa mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Sebuah pandangan hidup yang dinanti-nantikan oleh masyarakat khususnya di Indonesia. Pada saat musim kampanye berlangsung para calon pemimpin dari masing-masing politik menggambar-gemborkan jargon “kami akan mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi kami”. Kalimat yang menggelitik bagi masyarakat yang mendengarnya. Bagi calon pemimpin dari partai tersebut hal ini merupakan usaha untuk meyakinkan rakyat akan keseriusannya dalam merubah tatanan yang sudah ada.

4.      ANALISIS
Kapasitas artis awalnya sebagai penarik massa dan menduduki posisi legislatif, namun saat ini para artis mulai memasuki wilayah eksekutif. Rano Karno dan Deddy Mizwar menjabat sebagai wakil bupati tanggerang dan wakil bupati gebernur Jawa Barat. Dengan berhasilnya mereka di kancah politik, pra artis lainpun mengikuti mereka.
Sebagai wakil rakya, setidaknya ada tiga syarat yang harus di penuhi: memiliki kejelasan visi (vision), daya dukung public memadai (acceptability) dan rasa tanggung jawab (responsibility). Akan tetapidengan maraknya dunia inforaiment (media massa), syarat-syarat yang harus dipenuhi tersebut seolah-olah menjadi kabur. Kegiatan artis sudah terpantau habis-habisan oleh public sehingga masyarakat merasa dekat dengan artis yang mencalonkan diri sebagai tokoh politik dibandingkan dengan calon lain yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Publikasi media tentang kehidupan pribadi dan profesi membantu mereka mendapatkan popularitas dan citra serba baik atau hebat.
Kemenangan actor rano karno menjadi wakil bupati berpasangan dengan ismet iskandar sebagai bupati dalam pemilukada kabupaten Tanggerang memotivasi selebritis lainnya mencoba masuk ke dunia politik. Hal itu menguatkan kenyattan bahwa politisi selebritis telah menjadi fenomena.
Fenomena politisi selebritis menunjukan pendangkalan dunia politik yang sekurangnya mengindikasikan dua hal. Pertama, kekurangan kepercayaan diri para politisi dan pengurus parpol dalam menjual program kerja ke masyarakat. Kedua, lemahnya harga tawar ideology di masyarakat. Mungkin ideology telah mati. Jadi politisi selebritis dimaksudkan untuk mendongkrak dukungan.
Salah satu factor yang membantu rano adalah citra positif sebagai pribadi realistis sederhana, pekerja keras dati kaum bawah yang sukses dalam karier dan citara melalui sinetron Si Doel Anak Sekolah. Citra itu tertanam di masyarakat seantero Indonesia, bukan hanya komunitas betawi.
5.      PENUTUP
Kesimpulan :
Sebagai kesimpulan dari tulisan dapat disarikan beberapa hal sebagai berikut :
1. Motivasi politik artis menjadi anggota legislatif Daerah Pemilihan Jawa Timur dalam Pemilihan umum 2004 adalah berkuasa, di samping itu ada juga yang hanya ikut-ikutan saja untuk meningkatkan popularitasnya akibat pengaruh media yang selalu memberitakannya.
2. Partai politik berusaha mencari artis untuk dijadikan calon anggota legislatif dikarenakan di dalam masyarakat sedang terjadi krisis kepercayaan pada parpol berusaha untuk menarik massa dengan menggunakan publik figur yang cukup terkenal yakni dari kalangan selebritis. Alasan lain dari perekrutan artis oleh parpol untuk menjadikan calon anggota legislatif karena kurangnya kader partai yang berkualitas.
Saran - saran :
1. Kepada artis yang berkeinginan menjadi anggota legislatif diharapkan meningkatkan kemampuan intelektual, kepekaan terhadap fenomena dan aspirasi yang berkembang di masyarakat serta kualitas berpolitik secara benar dan jujur.
2. Bagi parpol yang akan merekrut artis untuk menjadi calon anggota legislatif, diharapkan membuat suatu standarisasi kualitas dangan menggunakan prosedur yang telah ditetapkan, sehingga akan diperoleh calon yang sungguh-sungguh berkualitas di bidanhnya masing-masing.
3. Perlu penelitian lebih lanjut tentang kualitas atau bobot para artis setelah menjadi anggota legislatif sebagai bentuk monitoring dan tanggung jawab parpol terhadap keberadaan artis di lembaga legislatif, sebab keingin-tahuan masyarakat sangat besar terhadap para wakilnya dari kalangan artis tersebut.

6.      DAFTAR PUSTAKA


Ditulis oleh: kito share kumpulan materi pelajaran Updated at : 02.20

Ditulis Oleh :kito share Unknown // 02.20
Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar